Derby - TUHAN TOLONGLAH

Kamis, 02 April 2009

Tauhid ,......PENTING!!

Dimensi Jiwa Manusia Dalam Perspektif Nilai Ketauhidan

Oleh :Lukmanul Hakim, MA

Dalam panggung sejarah manusia, pernah hidup dua orang saudara kandung. Awalnya perjalanan hidup keduanya diwarnai keharmonisan dan saling pengertian. Kondisi seperti ini berubah ketika keduanya mencapai usia berkeluarga. Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya, si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban. Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya. Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya. Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan penyesalan yang amat dalam.Itulah episode Qobil dan Habil, putera manusia dan Nabi Pertama , Adam as. Qobil dan habil kini telah tiada dan tak mungkin hidup kembali. Akan tetapi dua karakter manusia yang berbeda dan paradoksal itu akan tetap eksis dan hidup pada diri anak cucu keturunan Adam as.
Manusia diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter , potensi, orientasi dan kecenderungan yang sama untuk melakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya. Sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif, artinya ia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya di hadapan Allah. Sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada posisi yang rendah dan buruk. Ia bisa bagai hewan, bahkan lebih jelek lagi. Dalam kaitan ini, manusia dbierikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas menggunakan potensi positif dan negatifnya. Namun ia tak boleh melupakan, bahwa semua pilihan dan tindakannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan pengadilan tinggi Allah Yang Maha Adil, kelak di akhirat. Lantaran itu, bukanlah pada tempatnya manakala manusia menjadikan takdir sebagai alasan dan kambing hitam bila ia melakukan perbuatan negatif, dengan mengatakan bahwa segala sesuatunya telah ditakdirkan Allah s.w.t.. Seakan manusia itu wayang yang tak biasa berperan kecuali bila diperankan sang dalang. Padahal Allah tak akan merubah keadaan suatu kaum kalau mereka tidak berusaha merubahnya.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir Allah. Namun di pihak lain, Allah pun tak biasa dipersamakan dengan pembuat arloji. Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati. Allah senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur...” (QS. Albaqarah [2]:255).


Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang. Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil. Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain. Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah. Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah s.a.w, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhrinya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan. Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.

Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamannya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah s.w.t.. Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah s.w.t..

“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya.”(QS. Asy Syams [91]:7-10)


Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah. Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.

Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia ebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah s.a.w.Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah s.w.t., Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.

“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr [89]:27-30)

Segala sesuatu yang ada di alam ini adalah kepunyaan Allah s.w.t.. Dialah Rabb al-'Alamin (Rabb sekelian alam). Dialah yang berkuasa menghidupkan dan mematikan. Dia berkuasa memberikan manfaat dan mudarat. Jika Allah berkehendak memberikan manfaat dan kelebihan kepada seseorang, maka tidak ada makhluk di bumi ini yang mampu menghalang atau menolaknya. Dan sebaliknya jika Allah berkehendak memberikan mudarat dan keburukan kepada seseorang seperti sakit atau kesulitan, maka tidak ada yang dapat menghalangi atau mencegahnya. Oleh itu hanya Allah sajalah 'mutafarriq' (berkuasa) untuk memberikan manfaat atau mudarat.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tiada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dialah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-An'am [6]: 17)


Dengan itu, semua makhluk bergantung kepada-Nya, memerlukan pertolongan-Nya serta berharap kepada-Nya. Apa yang dimiliki makhluk hanya bersifat sementara dan pinjaman. Karenanya jika manusia bersifat seperti memiliki dan berkuasa, maka sifat itu hanya sementara kerana segala sesuatu di alam ini adalah kepunyaan Allah. Begitu juga dengan kekayaan, kecerdasan, dan kebijaksanaan yang dimiliki manusia, semuanya datang daripada Allah.
Karena sesungguhnya hakikat jiwa manusia adalah sebagai makhluk. Dia tidak memiliki apa-apa melainkan seluruh aktifitasnya serta gerak nafasnya berjalan sesuai dengan izin Allah.
Dengan keyakinan itu, maka timbullah kesadaran tauhid dalam diri seorang muslim. Dia hanya takut kepada Allah dan berani untuk melakukan sesuatu juga kerana keyakinannya kepada Allah.

Kesan keyakinan sedemikian terbukti dalam kehidupan Rasulullah dan sahabatnya. Sebelum keluar berhijrah ke Madiah, Rasulullah s.a.w memerintahkan Saidina Ali RA tidur di atas tempat tidurnya sedangkan ketikaitu musuh Islam sedang mengintip untuk membunuh Rasulullah.
Bagaimanapun, Saidina Ali sanggup melakukan perintah Rasulullah SAW kerana yakin dengan kehendak dan kekuasaan Allah.

Keyakinan yang sama juga pernah dicontohkan Khalid al-Walid RA. Beliau pernah mendapat luka yang banyak kerana berperang di jalan Allah. Namun keyakinannya dengan kekuasaan Allah menyebabkan dia meneruskan pertempuran melawan musuh. Bilal bin Rabah ra. pula sanggup diseret di padang pasir, dijemur di bawah matahari yang terik serta disiksa dengan batu besar diletakkan di atas tubuhnya. Bagaimanapun dia tetap mempertahankan keimanannya. Hari ini kita menyaksikan manusia yang kehilangan keyakinan ini. Mereka yakin kepada sesuatu yang lain daripada Allah. Mereka takut kepada kegagalan, masa tua , kematian dan sebagainya. Oleh itu menjadi kewajiban bagi da’i untuk mengembalikan manusia kepada keyakinan tersebut.


Manusia sebenarnya bersifat fakir (tidak memiliki apa-apa), sebaliknya sentiasa membutuhkan pertolongan Allah. Begitu juga dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan.
Allah s.w.t. berfirman :

"Wahai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (yang tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS. Fathir [35]: 15)


Setan Sebagai Musuh Abadi Manusia

Oleh :Drs. KH. Syarifin Maloko SH, MSi.

Ketika Allah menciptakan dan memposisikan Adam a.s. dalam ciptaan yang terakhir sebagai khalifah Allah dibumi, perintah itu tidak dihiraukan oleh jin kafir, jin yang ingkar, jin yang tidak pandai mensyukuri nikmat Allah. Dia memalingkan mukanya dari Allah s.w.t. dan merasa besar serta merasa sebagai makhluk senior. Dia merasa besar karena berasal dari api sedangkan Adam berasal dari tanah bahkan dari cairan yang hina dina.

Ketidakpatuhan jin kafir berupa iblis untuk menghormati Adam membuat Allah harus memutuskan untuk menempatkan Iblis dalam neraka jahanam yang terkutuk sampai hari akhirat nanti. Ketika mendapatkan keputusan Allah seperti itu Iblis dengan segenap pengikutnya berupa syetan mengajukan permohonan kepada Allah, “Rabb, tangguhkan kematian saya sampai hari kebangkitan (sampai kiamat) tiba”, Allah menjawab, “Sesungguhnya engkau ditangguhkan kematiannya sampai hari kepastian untuk yang mati dibangkitkan kembali dikumpulkan di padang mahsyar untuk memperoleh vonis”.

Dalam ayat yang lain, upaya pembangkang (iblis) untuk menyesatkan anak keturunan Adam (manusia) sampai kiamat tiba itu dimaksudkan agar menjadi pengikut-pengikutnya.

Permintaan ini mendapat perkenan dari Allah s.w.t. Itulah dasarnya mengapa kita berkesimpulan bahwa jin-jin pembangkang yang bermental Iblis dan syetan, apakah asli makhluk halus atau berupa manusia dan sebagainya telah ditetapkan menjadi musuh abadi manusia Banyak sekali versi ayat yang menjelaskan bahwa sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagi kamu wahai manusia pasti jelas dan nyata.

Sebelum mengenali langkah-langkah syetan yang memperdaya manusia, ada baiknya perlu sama-sama kita ingatkan diri kita diakhirat nanti setelah Allah memberikan vonis sudah diketahui mana “ ashabul yamin (golongan kanan sebagai ahli syurg ) “ dan mana yang “ ashhabus syimal (golongan kiri sebagai ahli neraka),

Ketika itu rame-rame manusia “asyhabuls syimal “ mencari dimana kambing hitam yang bernama syetan itu untuk dimintai pertanggung jawabannya mengapa syetan dulu di dunia menggoda mereka, merayu, menipu, membohongi, menjebloskan mereka sehingga kami ini ditempatkan di dalam neraka. Yang dicari tidak ditemukan, sekonyong-konyong syetanpun muncul dipodium dipadang mahsyar ketika itu, seperti ingin menampakan diri dan mencuci tangannya “berkata syetan setelah Allah menempatkan putusannya: mana yang masuk syurga dan mana yang masuk neraka. Syetan berkata dihadapan calon penghuni neraka : sesungguhnya janji Allah itu adalah janji yang benar, lalu saya menyelewengkan ( menyimpangkan ) kamu dan membuat kamu tidak patuh dan tidak percaya pada janji Allah itu, membuat kamu lebih percaya kepada janjiku. Itulah sebabnya mengapa hari ini kamu menjadi penghuni neraka, karena kamu tidak yakin dengan janji Allah, kamu lebih percaya kepada janji Allah, maka hari ini menjadilah kamu penghuni neraka dan menjadi sahabat-sahabat saya, kesalahan tidak ditangan saya tetapi kesalahan itu ada ditangan anda “ jangan kamu menyalahkan, mencerca saya, tapi salahkan diri kamu kenapa kamu tidak percaya kepada janji Allah, kenapa kamu mau percaya kepada saya yang sesungguhnya dinyatakan oleh Allah sebagai musuh kamu itu. Itulah pidato syetan setelah kita diputuskan menjadi penghuni neraka.

Sebelum berada di yaumul mahsyar, mumpung kita belum menemui kematian, mumpung kita masih berada didunia ini, maka jadikan syetan itu sebagai musuh abadi ( musuh nyata ) yang harus mampu kita miliki pengenalan dan pemahaman terhadap langkah-langkah syetan itu, tipu daya syetan itu sehingga kemudian secara sadar atau tidak sadar kita menjadi kaki tangan syetan dan menghuni neraka, dan pada saat yang sama kita menjadi orang-orang yang lalai dari kesadaran mengingat Allah swt.

Tidak sedikit manusia kemudian terperangkap dalam tipu daya syetan itu, melihat dunia sebagai tujuan hidup sehingga dia ingin survive di dunia ini membuat dia menjadi terperangkap dalam langkah-langkah syetan. Menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, menghina dan memfitnah orang lain, maka cenderung manusia menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah.

Tidak terlalu sulit hari ini kita menemukan langkah-langkah syetan itu. Setan yang seharusnya kita hadapi, karena menjadi musuh, namun hari ini melalui media massa manusia dibuat menjadi orang yang takut pada setan. Tidak sedikit tayangan-tayangan sinetron di televisi bertujuan untuk menyesatkan manusia dan tidak sedikit manusia muslim yang tersesat.

Semestinya orang-orang yang memegang kebijaksanaan menyesatkan manusia menjadi sahabat-sahabat setan melalui televisi, melalui media cetak, dengan tayangan yang mendangkalkan aqidah harus segera bertaubat kepada Allah s.w.t. Perspektif aqidah dan tauhid masyarakat pemirsa juga mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah ini. Sinetron tidak hanya dimaksudkan hanya menjadi sebuah hiburan, tapi diharapkan juga mampu menjadi media pendidikan edukasi, masyakakat pemirsa memperoleh hal-hal yang positif.

Ada beberapa indikator yang dapat kita kemukakan untuk mempermudah kita didalam mengidentifikasi ( mengenali ) langkah-langkah setan :

Jin kafir yang bermental iblis dan syetan itu adalah makhluk halus, makhluk ghaib sementara manusia adalah makhluk nyata. Manusia dan syetan memiliki permusuhan yang abadi sejak lahir sampai dengan kiamat. Sayangnya, manusia bisa dilihat oleh syetan sementara manusia tidak mampu melihat syetan itu. Mereka mengenal kita dengan baik tapi kita gagal mengenal mereka dengan baik sebagaimana mereka mengenal kita secara utuh dan sempurna.
Jumlah setan bertambah sejak diciptakannya sampai dengan kiamat tiba bagaikan deret ukur, sedangkan jumlah manusia sejak diciptakan mulai dari Adam a.s. sampai hari ini pertumbuhannya bagaikan deret hitung. Artinya, jumlah manusia dan setan hari ini bahkan kedepan akan terjadi perbedaan yang signifikan. Setan yang makhluk halus gaib itu jumlahnya kian terus bertambah dan tidak pernah mengalami kematian. Sedangkan manusia yang menjadi musuh abadi setan itu, setiap hari bertambah tapi pada saat bertambah ada yang berkurang dengan kematian-kematian. Artinya, dia yang gaib menjadi musuh kita jumlahnya lebih banyak dari kita ( manusia ) yang riil dan nampak nyata jumlahnya tidak sebanyak mereka. Itu sebabnya permusuhan yang dibangun oleh setan kepada manusia tidak hanya datang dari satu arah dan satu penjuru tapi akan datang dari berbagai arah dan penjuru depan, belakang, kiri dan kanan. Kemanapun manusia melangkah disana dia akan menjumpai setan. Manusia tidak perlu mencari setan karena jumlah setan sudah terlalu amat sangat banyak.
Setan mampu menjelma dalam berbagai wujud, dalam berbagai penampilan. Setan bisa menyerupai wujud apapun dibumi ini kecuali Rasulullah Muhammad s.a.w.
Itulah tiga karakteristik syetan yang harus kita kenali. Jumlahnya lebih banyak dari manusia dan hebatnya dia bisa tampil dalam berbagai rupa dan wujud. Untuk bisa menghadapi apalagi mengalahkannya hendaknya manusia senantiasa bersama Allah. Posisikan Allah dalam diri manusia kapan dan dimanapun, jangan pernah berpisah dari Allah. Mudah-mudahan dengan demikian kita senantiasa bersama Allah dan ketika manusia berada dalam jarak yang dekat dengan Allah, tidak ada kekuatan dimuka bumi ini termasuk setan yang mampu mengalahkannya.

Wallahu A’lam Bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar